Perayaan Ekaristi Peringatan Hari Orang Sakit Sedunia ke 23 Paroki Bongsari
Romo R. Maryono SJ dan Romo Agustinus Sarwanto, SJ saat upacara penerimaan Komuni
Perayaan Ekaristi diselengarakan hari Sabtu, 20 Februari 2016 di Gereja St, Theresia Bongsari Semarang mulai pukul 10.00 WIB
Dilanjutkan makan bubur bersama seluruh umat yang hadir mengikuti Perayaan Ekaristi Hari Orang Sakit Sedunia tahun 2016
PESAN BAPA SUCI PAUS
FRANSISKUS
UNTUK HARI ORANG SAKIT SEDUNIA KE-23
TAHUN 2015
Kebijaksanaan Hati
“Aku menjadi mata bagi orang buta, dan kaki bagi orang lumpuh”
(Ayub 29:15)
UNTUK HARI ORANG SAKIT SEDUNIA KE-23
TAHUN 2015
Kebijaksanaan Hati
“Aku menjadi mata bagi orang buta, dan kaki bagi orang lumpuh”
(Ayub 29:15)
Saudari-saudara terkasih,
Pada Hari Orang
Sakit Sedunia yang ke-23 ini, yang telah dimulai oleh St. Yohanes Paulus II,
saya kembali kepada Anda semua yang menderita sakit dan yang dalam berbagai
cara disatukan dengan penderitaan tubuh Kristus, dan juga kepada Anda, para
ahli dan relawan di bidang perawatan kesehatan.
Tema tahun ini
mengundang kita untuk merenungkan satu ungkapan dari Kitab Ayub : “Aku menjadi
mata bagi orang buta, dan kaki bagi orang lumpuh” (Ayb 29:15). Saya ingin
mengulas ungkapan ini dari sudut pandang “sapientia cordis” -
kebijaksanaan hati.
1. Kebijaksanaan bukanlah sesuatu yang teoritis, pengetahuan abstrak, atau
hasil penalaran logis. Lebih dari itu, dalam suratnya St. Yakobus melukiskan
kebijaksanaan sebagai, “hikmat yang murni, selanjutnya pendamai, peramah
lemah-lembut, penurut, penuh belas-kasihan dan buah-buah baik, tidak ragu dan
tidak munafik” (Yak 3:17). Inilah cara pandang yang dijiwai Roh Kudus di dalam
pikiran dan perasaan mereka yang peka terhadap penderitaan saudari-saudaranya
dan yang dapat memandang di dalam diri mereka gambar Allah. Untuk itu, marilah
kita daraskan doa pemazmur : “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami
sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mzm 90:12).
“Kebijaksanaan hati” yang merupakan karunia Allah ini adalah rangkuman dari
buah-buah Hari Orang Sakit Sedunia.
2. Kebijaksanaan hati berarti melayani saudari dan saudara kita. Kata-kata
Ayub : “Aku menjadi mata bagi orang buta, dan kaki bagi orang lumpuh,”
menunjukkan pelayanan orang saleh ini, yang menikmati kekuasaan tertentu dan
memiliki posisi penting di antara orang-orang tua di kotanya, memberikan
bantuan bagi mereka yang membutuhkan. Keagungan moralnya menemukan ungkapan
tepat dalam pertolongan yang ia berikan kepada penderita yang berteriak minta
tolong serta dalam kepeduliannya kepada anak yatim piatu dan janda-janda (Ayb
29:12-13). Dewasa ini betapa banyak orang Kristiani yang menunjukkan, bukan
dengan kata-kata tetapi dengan hidup yang berakar dalam iman sejati, bahwa mereka
adalah “mata bagi orang buta,” dan “kaki bagi orang lumpuh!” Mereka dekat
dengan orang-orang sakit yang memerlukan perhatian dan bantuan terus menerus
untuk membersihkan diri, memakaikan pakaian dan menyuapkan makanan. Pelayanan
seperti ini, khususnya bila berlarut-larut, bisa menjadi sesuatu yang
melelahkan dan membebani. Relatif lebih mudah membantu orang selama beberapa
hari saja, tetapi sulit merawat orang selama berbulan-bulan atau bahkan
bertahun-tahun, apalagi dalam beberapa kasus khusus, bila tidak ada ungkapan
rasa terima kasih. Namun, sebenarnya betapa agung jalan pengudusan ini! Dalam
saat-saat yang sulit itu secara khusus kita dapat mengandalkan kedekatan dengan
Tuhan, dan kita menjadi sarana istimewa bagi perutusan Gereja.
3. Kebijaksanaan hati berarti berada bersama
dengan saudari-saudara kita. Waktu yang dilalui bersama dengan orang sakit adalah
waktu yang suci. Ini adalah cara memuji Tuhan yang menyelaraskan kita dengan
gambar Putera-Nya yang “datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani,
dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat 20:28).
Yesus sendiri mengatakan : “Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan” (Luk
22:27). Dengan iman yang hidup, marilah kita mohon kepada Roh Kudus supaya
berkenan melimpahkan rahmat-Nya kepada kita untuk memahami kesiapsediaan diri
yang seringkali tidak terkatakan untuk meluangkan waktu bersama saudari-saudara
yang, dengan rasa terima kasih atas kedekatan dan kasih sayang kita, merasa
lebih dicintai dan dikuatkan. Di sisi lain, tersembunyi suatu kebohongan besar
di balik ungkapan tertentu yang menekankan pentingnya “kualitas hidup”,
sehingga membuat orang-orang berpikir bahwa hidup yang dijangkiti penyakit
berat bukanlah hidup yang berharga!
4.Kebijaksanaan hati berarti
keluar dari diri sendiri menuju saudari-saudara kita. Adakalanya
kita mengabaikan nilai istimewa dari waktu yang dilewatkan bersama dengan orang
yang sakit di pembaringannya karena kita begitu terburu-buru; terjebak dalam
kesibukan untuk melakukan sesuatu, untuk menghasilkan sesuatu, sehingga kita
abai untuk memberikan diri sendiri secara bebas, untuk peduli kepada orang
lain, dan bertanggungjawab terhadap orang lain. Di balik sikap seperti itu
seringkali iman yang suam-suam kuku melupakan Firman Tuhan : “kamu telah
melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Oleh karena itu, saya akan menekankan
kembali “prioritas mutlak ‘keluar dari diri sendiri untuk masuk ke dalam
kehidupan saudari-saudara kita’ sebagai satu dari dua perintah utama yang
mendasari setiap norma moral dan sebagai tanda paling jelas untuk menilai
pertumbuhan rohani dalam menanggapi anugerah yang diberikan Allah dengan
cuma-cuma” (Evangelii Gaudium, 179). Sifat misioner Gereja menjadi
sumber dari amal kasih yang berdaya guna dan bela-rasa yang memahami, membantu
dan memajukan (ibid.).
5. Kebijaksanaan hati berarti menunjukkan
solidaritas dengan saudari-saudara kita tanpa menghakimi mereka. Beramal
kasih membutuhkan waktu. Waktu untuk merawat orang-orang sakit dan mengunjungi
mereka. Waktu untuk berada di samping mereka seperti teman-teman Ayub : “Lalu
mereka duduk bersama-sama dia di tanah selama tujuh hari tujuh malam. Seorang
pun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat bahwa
sangat berat penderitaannya” (Ayb 2:13). Tetapi, teman-teman Ayub memendam
penghakiman terhadapnya : bahwa kemalangan Ayub adalah hukuman Tuhan atas
dosa-dosanya. Padahal, amal kasih yang benar adalah berbagi tanpa menghakimi,
tanpa menuntut perubahan dari orang lain; bebas dari kepalsuan yang jauh di
lubuk hati, dari mencari pujian dan kepuasan diri akan segala kebaikan yang
dilakukannya. Pengalaman penderitaan Ayub menemukan tanggapan tulus hanya di
dalam salib Yesus, tindakan kesetiakawanan Allah yang tertinggi kepada kita,
sepenuhnya cuma-cuma, berlimpah belas-kasih. Tanggapan kasih terhadap drama
penderitaan manusia, khususnya penderitaan orang-orang yang tidak bersalah,
tetap membekaskan kesan pada tubuh Kristus yang bangkit; luka mulia-Nya adalah
skandal bagi iman, tetapi sekaligus juga bukti iman (bdk. Homili untuk
Kanonisasi Yohanes XXIII dan Yohanes Paulus II, 27 April 2014). Bahkan
ketika penyakit, kesepian dan ketidakmampuan membuat kita sulit menjangkau
orang-orang lain, pengalaman penderitaan dapat menjadi jalan istimewa untuk
menyalurkan berkat dan menjadi sumber untuk memperoleh dan bertumbuh dalam
kebijaksaan hati. Kita menjadi mengerti bagaimana Ayub, di akhir pengalamannya
dapat berkata kepada Tuhan : “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang
Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ayb 42:5).
Orang-orang yang tenggelam dalam rasa sakit dan penderitaan ketika menerima hal
ini dalam iman, dimampukan menjadi saksi-saksi hidup dari iman yang mampu
merangkul penderitaan, bahkan meski tanpa mampu mengerti maknanya yang penuh.
Saya mepercayakan Hari Orang Sakit Sedunia ini pada perlindungan keibuan Maria, yang mengandung dan melahirkan Sang Kebijaksanaan : Yesus Kristus, Tuhan kita.
Saya mepercayakan Hari Orang Sakit Sedunia ini pada perlindungan keibuan Maria, yang mengandung dan melahirkan Sang Kebijaksanaan : Yesus Kristus, Tuhan kita.
O Maria, Tahta
Kebijaksanaan, jadilah perantara, sebagai Bunda kami bagi semua orang sakit dan
mereka yang merawatnya! Anugerahkanlah itu, melalui pelayanan kami bagi sesama
yang menderita, dan melalui pengalaman penderitaan itu sendiri, semoga kami
menerima dan memupuk kebijaksanaan hati yang benar!
Dengan doa
ini, untuk Anda semua, saya menyampaikan berkat Apostolik saya.
Dari Vatikan, 3 Desember 2014
Pada
peringatan St. Fransiskus Xaverius
Paus Fransiskus
Komentar
Posting Komentar